👤 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

🔴 فعلامة السعادة ان تكون حسنات العبد خلف ظهره وسيئاته نصب عينيه
🔴 وعلامة الشقاوة ان يجعل حسناته نصب عينيه وسيئاته خلف ظهره

🔴 Tanda kebahagiaan adalah ketika kebaikan-kebaikan hamba di belakang punggungnya (dia melupakan dan tidak menghitungnya) sedang kejelekan-kejelekannya di depan matanya (sehingga dia berusaha memperbaiki diri dan bertobat darinya).

🔴 Tanda kesengsaraan adalah saat seseorang melihat kebaikan-kebaikannya di depan matanya (sehingga membuatnya merasa ujub dan sombong), sedang kejelekan-kejelekannya di belakang punggungnya (sehingga meremehkannya dan tidak memperbaikinya)."

___________________________

📚 Miftah Daris Sa'adah 2/843


🌍 Sumber: shahihfiqih.com

PERTANYAAN :
Bolehkah menulis beberapa ayat AlQuran (Seperti ayat Kursi) di atas bejana makanan dan minuman dengan tujuan pengobatan?


JAWABAN :
Pertama-tama, harus diketahui bahwa Kitabullah lebih mulia dan lebih Agung daripada dihina dan diremehkan sampai batas ini. Bagaimana mungkin jiwa seorang mukmin akan senang menjadikan kitabullah dan ayat terbesar dalam kitabullah yaitu ayat Kurai di bejana/ wadah yang diminum, dihinakan, dilempar di rumah dan dijadikan mainan anak-anak?

Perbuatan ini, tidak diragukan lagi adalah haram dan wajib bagi seseorang yang ada di sisi bejana/wadah ini agar menghapus ayat-ayat ini yang terdapat padanya dengan pergi kepada pembuatnya agar menghapusnya. Jika ia tidak bisa melakukan hal itu, ia harus menggali ditempat yang suci dan menguburkannya. Adapun membiarkannya terhina dan tidak diperhatikan, anak-anak minum dan bermain dengannya, sungguh hal ini tidak diperbolehkan. Meskipun tujuannya untuk penyembuhan. Karena penyembuhan dengan Al-Quran menurut cara ini tidak pernah ada riwayatnya dari para as-Salaf ash-Shalih.

____________________________

👤 Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah.

📚 Al-Majmu' ats Tsamin, jilid 2 halaman 243

Sumber: shahihfiqih.com

✍️ Admin MBI

Alloh ﷻ berfirman: (QS. An-Nisa: 48, 116)

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Di dalam ayat yang mulia ini Alloh ﷻ mengabarkan dengan kabar yang pasti bahwa diriNya tidak akan memaafkan seorang hamba yang berjumpa denganNya dalam keadaan berbuat syirik.

Ayat ini juga bertujuan untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kesyirikan dan bahwa Alloh ﷻ akan memaafkan dosa-dosa selain dosa syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dimaafkan sebagai karunia dan kebaikan dariNya, agar kita tidak berputus asa dari rahmat Alloh*.

____________________
*Referensi: Kitab Mulakhkhash Syarah Kitab Tauhid, DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.

✍️ Admin MBI

Berkata dusta hukumnya haram dan pelakunya diancam dengan neraka. Namun, ada beberapa bentuk dusta yang diperbolehkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Uqbah رضي الله عنهما, ia mendengar Rosululloh ﷺ bersabda:

“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia lalu ia menyampaikan atau mengatakan hal-hal yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain Imam Muslim menambahkan:

“Aku tidak pernah mendengar beliau membolehkan dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yakni; dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai dan kata-kata gombal suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menegaskan bahwa dusta adalah sesuatu yang dilarang dan termasuk perbuatan dosa. Akan tetapi, jika di dalam kedustaan itu ada kemaslahatan syar’i yang lebih  kuat, seperti mendamaikan antara suami istri atau mendamaikan antara orang-orang yang berselisih dengan sesuatu yang tidak ada unsur kezhaliman, atau dusta dalam peperangan melawan musuh, maka yang demikian itu diperbolehkan.

Pelajaran yang bisa kita petik dari pemaparan di atas adalah:

1. Boleh berdusta untuk mendamaikan antara orang-orang yang berselisih, karena di dalamnya ada kemaslahatan syar’i yang besar dan juga persatuan di antara kaum muslimin.

2. Boleh berdusta dalam peperangan, karena ia merupakan siasat perang yang di dalamnya ada kemaslahatan syar’i yang lebih kuat.

3. Seorang suami boleh berdusta kepada istrinya, atau istri berdusta kepada suaminya dalam hal-hal yang tidak ada unsur kezhaliman ataupun kerugian.
____________________
Penulis: DR. Rasyid bin Husain Abdul Karim, Kitab; Ad-Duruusul Yaumiyyah.
Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini. Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). 

Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
 
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. 

Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
 
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. 

Inti dari penjelasan beliau rahimahullah: Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
 
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ....

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


✍️ Admin MBI

Selain mewanti-wanti terhadap dusta yang besar, Rosululloh ﷺ juga mewanti-wanti umatnya dari perkataan sepele, tapi sejatinya termasuk perkataan dusta.

Di antara perkataan sepele tapi termasuk ke dalam dusta adalah:

Pertama, perkataan seseorang kepada anak kecil, “Aku akan memberimu.” Padahal ia tidak serius untuk memberi, hanya bercanda. Ini termasuk dusta, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Amir رَضِيَ الله عَنْهُ, ia berkata:

“Ketika masih kecil ibuku pernah memanggilku, sementara Rosululloh ﷺ tengah duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata, ‘Hai kemarilah, aku akan memberimu.’ Rosululloh ﷺ kemudian bertanya kepada ibuku, ‘Apa yang akan engkau berikan kepadanya ?’ Ibuku menjawab, ‘Aku akan memberinya kurma.’ Rosululloh ﷺ bersabda kepada ibuku, ‘Jika engkau tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai kebohongan atasmu’.” (HR. Abu Dawud: 4991, dan dishohihkan oleh Albani di dalam Ash-Shohihah, 478)

Kedua, melawak dengan cerita-cerita bohong untuk membuat orang yang mendengarnya tertawa. Bahz bin Hakim meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, Rosululloh ﷺ bersabda:

“Celakalah orang yang mengatakan suatu perkataan untuk membuat orang-orang tertawa, padahal ia berbohong, celakalah ia dan celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Dihasankan oleh Albani, Shohihul Jami’)

Ketiga, menceritakan semua yang didengarnya termasuk perbuatan dusta, Abu Hurairah رَضِيَ الله عَنْهُ meriwayatkan, bahwasanya Rosululloh ﷺ bersabda:

“Cukuplah seseorang (dianggap) berdusta apabila ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Selain ketiga hal di atas, Rosululloh ﷺ juga mewanti-wanti kaum muslimin untuk berhati-hati dalam berprasangka. Diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Rosululloh ﷺ bersabda:

“Seburuk-buruk ucapan yang digunakan oleh seseorang sebagai kendaraan adalah ungkapan ‘menurut sangkaan mereka’.” (HR. Abu Dawud, dishohihkan oleh Albani, Ash-Shohihah)

Maksudnya adalah seseorang menyampaikan berita kepada orang lain hanya berdasarkan dari berita yang tidak jelas, atau sangkaan-sangkaan orang saja.

Persoalan-persoalan di atas merupakan sesuatu yang sepele, tapi hukumnya haram, bahkan berdusta untuk membuat orang-orang tertawa merupakan dosa besar. Hal lain yang juga menyeret kepada dusta adalah seseorang yang menceritakan semua yang didengarnya tanpa ada bukti, karena bisa jadi ia mendengar kebenaran dan kedustaan. Jika ia menceritakan semua yang didengarnya, maka ia akan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi dan itu merupakan kedustaan.

Pelajaran yang bisa kita petik dari pemaparan di atas adalah:

1. Wajib menjaga diri dari dusta, hingga kepada anak-anak dalam urusan-urusan yang kecil.

2. Ancaman berdusta untuk membuat orang-orang tertawa melalui guyonan (canda).

3. Larangan seseorang menceritakan semua yang didengarnya. Karena bisa jadi ia mendengar kebenaran dan kedustaan, sehingga ia pun akan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi.


____________________
Penulis: DR. Rasyid bin Husain Abdul Karim, Kitab; Ad-Duruusul Yaumiyyah.