Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, M.A.
Kalau ada seorang penceramah berucap di atas mimbar,
“Sungguh perbuatan syirik dan pelanggaran tauhid sering terjadi dan banyak
tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan keheranan dan
bertanya-tanya: “Benarkah itu? Mana buktinya?”.
Tapi kalau sumber
beritanya berasal dari firman Allâh k dalam al-Qur’ân, masihkah ada yang
meragukan kebenarannya?. Simaklah, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
"Dan
sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)".
[Yûsuf/12:106]
Semakna dengan ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla juga
berfirman:
"Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang
benar) walaupun kamu sangat menginginkannya" [Yûsuf/12:103]
Maksudnya,
mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk
(menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allâh (dengan
iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik)
yang merupakan agama (warisan). Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا
الأَوْثَانَ
"Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah
(suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai
mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allâh)" [1]
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus
ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya hari Kiamat. [2]
HAKIKAT
SYIRIK
Hakikat syirik adalah perbuatan mengadakan syarîk (sekutu) bagi Allâh
Azza wa Jalla dalam sifat rubuubiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allâh Azza wa
Jalla yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, melindungi, mengatur dan
memberi rizki kepada makhluk-Nya) dan ulûhiyah-Nya (hak untuk disembah dan
diibadahi semata-mata tanpa disekutukan). Meskipun mayoritas perbuatan syirik
yang terjadi di umat ini adalah (syirik) dalam sifat uluuhiyah-Nya, yaitu dengan
berdoa (meminta) kepada selain Allâh Azza wa Jalla bersamaan dengan (meminta)
kepada-Nya, atau mempersembahkan satu bentuk ibadah kepada selain-Nya, seperti
menyembelih (berkurban), bernazar, rasa takut, berharap dan
mencintai.
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah
menjelaskan hakikat perbuatan syirik yang diperangi oleh semua rasul yang diutus
oleh Allâh Azza wa Jalla, beliau berkata:
“Ketahuilah, semoga Allâh
merahmatimu, sesungguhnya (hakekat) tauhid adalah mengesakan Allâh Subhanahu wa
Ta'ala dalam beribadah. Inilah agama (yang dibawa) para rasul yang diutus oleh
Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia.
Rasul yang pertama adalah (nabi)
Nûh Alaihissallam yang diutus oleh Allâh kepada kaumnya ketika mereka bersikap
ghuluw (berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan) orang-orang yang
shaleh (di kalangan mereka, yaitu) Wadd, Suwâ’, Yaghûts, Ya’ûq dan Nasr.
[4]
Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
dialah yang menghancurkan gambar-gambar (patung-patung) orang-orang shaleh
tersebut. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allâh kepada kaum
(orang-orang musyrik) yang selalu beribadah, berhaji, bersedekah dan banyak
berzikir kepada Allah, akan tetapi mereka (berbuat syirik dengan) menjadikan
makhluk sebagai perantara antara mereka dengan Allâh (dalam beribadah). Mereka
mengatakan: “Kami menginginkan melalui perantara-perantara makhluk itu agar
lebih dekat kepada Allah [5], dan kami menginginkan syafa’at mereka di sisi-Nya”
[6]. (Perantara-perantara tersebut adalah) seperti para malaikat, Nabi Isa bin
Maryam, dan orang-orang shaleh lainnya.
Maka Allâh Azza wa Jalla mengutus
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memperbaharui (memurnikan
kembali) ajaran agama yang pernah dibawa oleh Nabi Ibrâhîim Alaihissallam (yaitu
ajaran tauhid) dan menyerukan kepada mereka bahwa bentuk pendekatan diri dan
keyakinan seperti ini adalah hak Allâh yang murni (khusus bagi-Nya) dan tidak
boleh diperuntukkan sedikit pun kepada selain-Nya, meskipun itu malaikat atau
nabi utusan-Nya, apalagi yang selainnya”. [7]
CONOTH-CONTOH PERBUATAN
SYIRIK YANG BANYAK TERJADI DI MASYARAKAT
Perbuatan-perbuatan syirik seperti
ini sangat sering dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan perbuatan syirik
yang dilakukan oleh orang-orang di zaman Jahiliyah -sebelum datangnya Islam-
masih juga sering terjadi di zaman modern ini.
Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu berkata: “Perbuatan syirik yang terjadi di jaman Jahiliyah (juga) terjadi
pada (jaman) sekarang ini:
1- Dahulu orang-orang musyrik (di zaman
Jahiliyah) meyakini bahwa Allâh Dialah Yang Maha Pencipta dan Pemberi rezeki
(bagi semua mekhluk-Nya), akan tetapi (bersamaan dengan itu) mereka berdoa
(meminta/menyeru) kepada para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh dan
dekat kepada Allâh k ) dalam bentuk berhala-berhala, sebagai perantara untuk
(semakin) mendekatkan mereka kepada Allâh (menurut persangkaan sesat mereka).
Maka Allâh tidak meridhai (perbuatan) mereka menjadikan perantara (dalam berdoa)
tersebut, bahkan Allâh Azza wa Jalla menyatakan kekafiran mereka dalam
firman-Nya:
"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allâh
(berkata): "Kami tidak menyembah mereka (sembahan-sembahan kami) melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya".
Sesungguhnya Allâh akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
perselisihkan. Sesungguhnya Allâh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang
yang pendusta dan sangat besar kekafirannya". [az-Zumar/39:3]
Allâh Azza
wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan keberadaan perantara
dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
"Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah
maha dekat". [al-Baqarah/2:186]
Kita saksikan di zaman sekarang ini
kebanyakan kaum Muslimin berdoa (meminta/menyeru) kepada wali-wali dalam wujud
(penyembahan terhadap) kuburan mereka, dengan tujuan untuk mendekatkan diri
mereka kepada Allâh Azza wa Jalla.
Berhala-berhala (di zaman Jahiliyah)
merupakan wujud dari para wali (orang-orang yang mereka anggap shaleh dan dekat
kepada Allâh Azza wa Jalla) yang telah wafat menurut pandangan orang-orang
musyrik (di zaman Jahiliyah). Sedangkan kuburan adalah wujud dari para wali yang
telah meninggal menurut pandangan orang-orang yang melakukan perbuatan Jahiliyah
(di zaman sekarang), meskipun harus diketahui bahwa fitnah (kerusakan/keburukan
yang ditimbulkan) dari (penyembahan terhadap) kuburan lebih besar dari fitnah
(penyembahan) berhala!
2- Dahulu orang-orang musyrik (di zaman Jahiliyah)
selalu berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla semata di waktu-waktu sulit dan sempit,
kemudian mereka menyekutukan-Nya di waktu lapang. Allâh k
berfirman:
"Maka apabila mereka mengarungi (lautan) dengan kapal mereka
berdoa kepada Allâh dengan memurnikan agama bagi-Nya; kemudian tatkala Allâh
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan
(Allah)". [al-‘Ankabût/29:65]
Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi
seorang Muslim untuk berdoa kepada selain Allâh dalam waktu sempit dan lapang
(sebagaimana yang sering dilakukan oleh banyak kaum Muslimin di zaman
ini)?[8].
CONOTH-CONTOH LAIN PERBUATAN-PERBUATAN SYIRIK YANG BANYAK
TERSEBAR DI MASYARAKAT [9]
1- Mempersembahkan salah satu bentuk ibadah kepada
selain Allâh Subhanahu wa Ta'ala, seperti berdoa (memohon) kepada orang-orang
shaleh yang telah mati, meminta pengampunan dosa, menghilangkan kesulitan
(hidup), atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seperti keturunan dan
kesembuhan penyakit, kepada orang-orang shaleh tersebut. Juga seperti
mendekatkan diri kepada mereka dengan sembelihan qurban, bernazar, thawaf,
shalat dan sujud…Ini semua adalah perbuatan syirik, karena Allâh Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, sembelihanku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)".
[al-An’âm/6:162-163]
2- Mendatangi para dukun, tukang sihir, peramal
(paranormal) dan sebagainya, serta membenarkan ucapan mereka. Ini termasuk
perbuatan kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang artinya:
"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal
kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10]
Allâh
Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kekafiran para dukun, peramal dan tukang sihir
tersebut dalam firman-Nya yang artinya:
"Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan
sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari
kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allâh. Dan
mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan
tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (kitab Allâh) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya
sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui" [al-Baqarah/2:102]
Hal ini
dikarenakan para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku
mengetahui urusan gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa
Ta'ala.
"Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui
bilamana mereka akan dibangkitkan". [an-Naml/27:65]
Selain itu, mereka
selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek sihir dan
perdukunan. Padahal para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam
praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allâh
Subhanahu wa Ta'ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk para jin dan
setan tersebut, menghinakan al-Qur’ân dengan berbagai macam cara, atau cara-cara
lainnya [11]. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan bahwasannya ada
beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa
laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan". [al-Jin/72:6]
3- Berlebihan dan melampaui batas dalam
mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam:
"Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam
memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam
memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka
katakanlah: hamba Allâh dan rasul-Nya". [12]
Rasûlullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin ikut memiliki sebagian
dari sifat-sifat khusus yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla, seperti mengetahui
ilmu gaib, memberikan manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta,
dan lain-lain. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: "Aku
tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang
gaib, tentulah aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al-A’râf/7:188]
Di antara
Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh
Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut:
- Meyakini bahwa
beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Memohon pengampunan dosa dan masuk surga
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah
khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada seorang makhluk pun yang
ikut serta memilikinya.
- Melakukan safar (perjalanan jauh) dengan tujuan
menziarahi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang perbuatan ini dalam sabda
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidak boleh melakukan perjalanan (dengan
tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan
Masjidil Aqsha". [13]
Semua hadits yang menyebutkan keutamaan melakukan
perjalanan untuk mengunjungi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
hadits yang lemah dan tidak benar penisbatannya kepada beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditegaskan oleh sejumlah imam ahli
hadits.
Adapun melakukan perjalanan untuk melakukan shalat di Masjid
Nabawi maka ini adalah perkara yang dianjurkan dalam Islam berdasarkan hadits
yang shahih.[14]
- Meyakini bahwa keutamaan Masjid Nabawi disebabkan
adanya kuburan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini jelas merupakan
kesalahan yang sangat fatal, karena Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menyebutkan keutamaan shalat di Masjid Nabawi sebelum beliau
wafat.
4- Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan kuburan
orang-orang shaleh yang terwujudkan dalam berbagai bentuk, di
antaranya:
- Memasukkan kuburan ke dalam masjid dan meyakini adanya
keberkahan dengan masuknya kuburan tersebut.
Ini bertentangan dengan
petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Allâh melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, (kerena)
mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)"
[15]
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian selalu menjadikan kuburan
para nabi dan orang-orang shaleh (di antara) mereka sebagai masjid (tempat
ibadah), maka janganlah kalian (wahai kaum Muslimin) menjadikan kuburan sebagai
masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari perrbuatan tersebut" [16]
-
Membangun (meninggikan) kuburan dan mengapur (mengecat)nya.
Dalam hadits yang
shahih, Jâbir bin 'Abdillâh Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasûlullâh Shallallahu
'alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya, dan
membangun di atasnya".[17]
Perbuatan-perbuatan ini dilarang karena
merupakan sarana yang membawa kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allâh
Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang shaleh tersebut).
5- Termasuk
perbuatan yang merusak tauhid dan akidah seorang Muslim adalah menggantungkan
jimat -baik berupa benang, manik-manik atau benda lainnya- pada leher, tangan,
atau tempat-tempat lainnya, dengan meyakini jimat tersebut sebagai penangkal
bahaya dan pengundang kebaikan.
Perbuatan ini dilarang keras oleh
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang artinya:
"Barangsiapa yang menggantungkan jimat, sungguh dia telah berbuat syirik".
[18]
6- Demikian juga perbuatan tathayyur, yaitu menjadikan sesuatu
sebagai sebab kesialan atau keberhasilan suatu urusan, padahal Allâh Subhanahu
wa Ta'ala tidak menjadikannya sebagai sebab yang berpengaruh.
Perbuatan
ini juga dilarang keras oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabda beliau yang artinya: "(Melakukan) ath-thiyarah adalah kesyirikan".
[19]
7- Demikian juga perbuatan bersumpah dengan nama selain Allâh Azza
wa Jalla. Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
"Barangsiapa bersumpah dengan (nama) selain Allâh, sungguh dia telah berbuat
syirik".[20]
NASIHAT DAN PENUTUP
Demikianlah beberapa contoh praktek
perbuatan syirik yang terjadi di masyarakat. Hendaknya fakta tersebut menjadikan
seorang Muslim selalu memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan
terjerumus ke dalam perbuatan tersebut. Karena siapa yang mampu menjamin dirinya
dan keluarganya selamat dari keburukan yang terjadi pada orang-orang yang hidup
disekitarnya?
Kalau Nabi Ibrâhim Alaihissallam saja sampai
mengkhawatirkan dirinya dan keluarganya terjerumus dalam perbuatan menyembah
kepada selain Allâh (syirik), dengan berdoa kepada Allah 'jauhkanlah diriku dan
anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala' (QS Ibrâhim:35), padahal beliau
Alaihissallam adalah nabi mulia yang merupakan panutan dalam kekuatan iman,
kekokohan tauhid, serta ketegasan dalam memerangi syirik dan pelakunya, maka
sudah tentu kita lebih pantas lagi mengkhawatirkan hal tersebut menimpa diri dan
keluarga kita, dengan semakin bersungguh-bersungguh berdoa dan meminta
perlindungan kepada-Nya agar dihindarkan dari semua perbuatan tersebut dan
pintu-pintu yang membawa kepadanya.
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengajarkan doa perlindungan dari segala bentuk syirik kepada
Sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi
:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ،
وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
"Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun
kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)" [21].
Juga tentu
saja, dengan semakin giat mengusahan langkah-langkah untuk kian memantapkan
akidah tauhid dalam diri kita yang terwujud dalam meningkatnya semangat
mempelajari ilmu tentang tauhid dan keimanan, serta berusaha semaksimal mungkin
mempraktekkan dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallâhu
a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1].
Hadits shahih riwayat Abu Dâwud no. 4252, at-Tirmidzi no. 2219 dan Ibnu Mâjah
no. 3952.
[2]. Lihat kitab al-‘Aqîdatul Islâmiyyah, Muhammad bin Jamil
Zainu, hlm. 33-34
[3]. Kitâbut Tauhîd, Shâleh bin Fauzân al-Fauzân, hlm.
8
[4]. Ini adalah nama-nama orang shaleh dari umat Nabi Nûh q , yang kemudian
setelah mereka wafat, kaumnya menjadikan patung-patung mereka sebagai sembahan
selain Allâh k . Lihat QS Nûh/71:23
[5]. Sebagaimana yang disebutkan dalam
QS. az-Zumar/39:3
[6]. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS.
Yûnus/10:18
[7]. Kasyfusy Syubuhât hlm. 7
[8]. Al-‘Aqîdatul Islâmiyyah
hlm. 46
[9]. Pembahasan ini diringkas dari kitab Mukhâlafât fit Tauhîd,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis, dengan sedikit tambahan dan penyesuaian
[10].
HR. Ahmad (2/429) dan al-Hâkim (1/49). Lihat ash-Shahîhah no. 3387
[11]. Hum
Laisu Bisyai hlm. 4
[12]. HR. al-Bukhâri no. 3261
[13]. HR. al-Bukhâri no.
1132 dan Muslim no. 1397
[14]. HR. al-Bukhâri no. 1133 dan Muslim no.
1394
[15]. HR. al-Bukhâri no. 1265 dan Muslim no. 529
[16]. HR. Muslim no.
532
[17]. HR. Muslim (no. 970).
[18]. HR. Ahmad (4/156). Lihat
ash-Shahîhah no. 492
[19]. HR. Abu Dâwud no. 3910, at-Tirmidzi no. 1614 dan
Ibnu Mâjah no. 3538. Lihat ash-Shahîhah no. 429
[20]. HR. Abu Dâwud (no.
3251) dan at-Tirmidzi (no. 1535). Lihat ash-Shahîhah no. 2042
[21]. Hadits
shahih riwayat al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad no. 716 dan Abu Ya’la no. 60.
0 komentar :
Posting Komentar